-->

Header Ads

Tafsiran Dari Kata "Min Atsaris Sujud" (Bekas Sujud)

Bekas Sujud


Setelah saya mencoba membuka beberapa Tafsir Al-Quran tentang kalimat pada ayat : “…tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS Al-Fath (48) ayat 29)

Di dalam :


  •  Tafsir Al-Qurthubi Juz 16, hlm. 291, bahwa Ibn Abbas dan Mujahid menafsirkan kata “bekas sujud” sebagai : khusyu’ dan tawadlu’.


  • Hal yang sama juga termaktub di dalam Tafsir Fathul Qadir-nya Al-Syaukani pada Juz 5, hlm. 55.
  • Sementara itu Ibn Jarir al-Thabari di dalam Tafsirnya, Jami’ al-Bayan Juz 26, hlm 141, mengutip perkataan Muqatil bin Hayyan dan Ali bin Mubarak dari al-Hasan bahwa yang dimaksud “min atsari sujud” disana adalah cahaya yang tampak pada wajah orang-orang beriman pada Hari Kiamat kelak sebagai bekas shalat dan wudlu’nya. Bahkan di dalam Tafsirnya tersebut, Ibn Jarir juga mengutip perkataan sahabat Ibn Abbas yang menolak penafsiran ayat secara literal dengan kata-kata : “Hal itu bukanlah seperti yang kalian kira, karena maksudnya (dari kalimat min atsari sujud) adalah tanda-tanda ke-islaman (ketundukan dan kepasarahan) serta kekhusyu’an.”



  •  Pada Tafsir Zâdul Mâsir yang disusun oleh Ibn Jauzi, pada Juz 7, hlm. 172, beliau menjelaskan dengan penjelasan yang cukup rinci yang saya singkat sebagai berikut : Ibn Jauzi mengatakan, “Apakah tanda-tanda itu (bekas sujud) itu merupakan tanda-tanda di dunia atau di akhirat?”  Dari banyak mufassir yang mengatakan bahwa tanda-tanda itu tampak di dunia ini hanya sedikit saja penafsir yang mengatakan bahwa tanda sujud itu tampak karena adanya bekas turbah (tanah) yang melekat di kening mereka. Itu pun penfasiran alternatif bukan satu-satunya penafsiran yang mereka yakini. Lagi pula jika penafsiran seperti itu menjadi argumen mereka, maka hal itu justru akan menjadi muskilah, karena kaum Muslim yang sujud di atas turbah (tanah) pada masa ini hanyalah kalangan Muslim Syi’ah saja, sementara kaum Muslim Sunni tidak lagi sujud di atas turbah, tetapi di atas kain sajadah atau yang semacamnya. Dan penafsiran ini pun tidak bisa menjadi dalil bagi kaum Khawarij, karena bekas sujud yang ada dikening mereka bukanlah bekas turbah, tetapi karena kulit yang baal (tebal) karena ditekan secara paksa. Kita sudah banyak mengetahui bahwa banyak ulama Sunni maupun Syi’ah yang rajin melakukan shalat malam tetapi kening mereka tidak hitam seperti yang ada pada kening kaum Khawarij dan pengikutnya.



Baca Juga : Dalil Keutamaan Menuntut Ilmu (Thalibil Ilim)


Oleh karena itu, masih di dalam Tafsir Ibn Jauzi, Mujahid mengikuti pendapat gurunya, Ibn Abbas, membantah bahwa tanda-tanda itu bersifat lahiriyyah seperti yang sudah saya kutip di atas. Sebagian besar mufassir lebih condong ke penafsiran maknawi ketimbang zahiri seraya menunjukkan beberapa hadis Nabi Saw sbb :

Rasulullah Saw bersabda : “Tak satu orangpun di antara umatku yang tidak kukenali pada Hari Kiamat. Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana engkau dapat mengetahuinya wahai Rasulullah, sedangkan engkau berada di tengah-tengah banyaknya makhluk? Beliau bersabda: “Apakah kalian dapat mengetahui sekiranya kalian memasuki tumpukan makanan yang di dalamnya terdapat sekumpulan kuda berwarna hitam pekat yang tidak dapat tertutup oleh warna lain, dan di dalamnya terdapat pula kuda putih bersih, dapatkah kalian dapat melihatnya? Mereka berkata: “Tentu!” Beliau bersabda : “Sesungguhnya umatku pada hari itu berwajah putih bersih karena (bekas) sujud dan karena (bekas) wudlu’.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang sahih; Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini, dengan komentar : shahih). Hadis ini pula yang dijadikan dalil bahwa tanda (sima) dari bekas sujud tersebut hanya tampak pada Hari Kiamat.

Sementara itu Allamah Thabathaba’i di dalam Tafsir al-Mizan-nya, Juz 18, hlm. 326, juga menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran maknawi bukan zhahiri.

Dan terakhir, Tafsir Al-Nur al-Tsaqalayn, penulisnya, Syekh al-‘Urusi al-Huwaizi menafsirkan kalimat min atsari sujud pada ayat tersebut dengan mengutip ujaran Imam al-Shadiq as : “huwa al-sahr fi al-shalah” : itu adalah banyaknya shalat malam pada waktu sebelum fajar/subuh (sahr).

Demikianlah sedikit keterangan yang saya peroleh dari beberapa kitab Tafsir. Saya tidak memutlakan penafsiran ini, namun penafsiran yang melulu literal tentu saja bisa menimbulkan banyak penyimpangan seperti contohnya pada ayat : “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan.” (QS Al-Isrâ [17] ayat 72) Jika ayat ini ditafsirkan secara literal maka betapa sengsaranya orang-orang yang buta. Tentu saja termasuk Bin Baz (tokoh Wahabi) yang konon juga buta matanya pastilah akan mengalami penderitaan di dunia maupun di akhirat.
Theme images by mammuth. Powered by Blogger.