Kisah Kelahiran Dan Masa Kecil Nabi Muhammad SAW Hingga Ibu, Kakek dan Pamannya Wafat
Muhammad saw. bin Abdullah bin Abdul Muthallib
bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai
bin Ghalib bin Fihr (Quraidy) bin Malik bin Nadhir bin Kinanah bin Di Khuzaimah
bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma ad bin Adnan. Hingga di
sinilah silsilah Nabi dari pihak ayahnya yang dapat diketahui orang. Menurut
para ahli Adnan ini adalah keturunan langsung dari Nabi Ismail bin Ibrahim as.
Silsilah Nabi dari Pihak Ibunya
Ibunya bernama Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf
bin Zuhrah bin Kilab (kakek Nabi yang kelima dari pihak ayahnya). Dengan
demikian, silsilah Nabi dari pihak ibu dan ayahnya saling bertemu pada kakek
beliau yang kelima tersebut.
Bapanya Wafat
Nabi Muhammad saw. dilahirkan dalam keadaan
yatim, karena bapaknya Abdullah bin Abdul Muthalib telah wafat dua bulan
sebelum kelahirannya, yaitu ketika ia berada dalam perialanan pulang dari
berniaga ke negeri Syam.
Bapaknya dikuburkan di kota Yatsrib di sebelah
utara kota Makkah. Pusaka yang ditinggalkannya hanyalah berupa lima ekor unta
dan seorang hamba sahaya bernama Ummu Aiman.
Kelahirannya
Nabi Muhammad dilahirkan di kota Makkah, pada
hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal tahun Fiil (Tahun Gajah), bertepatan dengan
tanggal 20 April 571 Masehi.
Tahun tersebut disebut tahun gajah, karena
bersamaan dengan datangnya suatu pasukan tentara Nasrani dibawah pimpinan
Abrahah, gubernur Kerajaan yang memerintah di Yaman, dan bermaksud untuk
menghancurkan Ka'bah di Makkah.
Di antara kebiasaan orang-orang Arab Makkah pada
waktu itu, terutama di kalangan kaum bangsawan, ialah menyusukan dan menitipkan
bayi-bayi mereka yang baru lahir kepada wanita-wanita dusun di padang pasir,
agar dapat menghirup udara yang masih segar dan terhindar dari
penyakit-penyakit kota, serta dapat berlatih berbicara dengan bahasa yang masih
murni dan fasih.
Demikian pula halnya Nabi Muhammad, beliau
diserahkan oleh ibunya kepada seorang perempuan terhormat bernama Halimatus
Sa'diyah, yang berasal dari Bani Sa'ad dalam kabilah Hawazin, yang terletak
tidak seberapa jauh dari kota Makkah. Di perkampungan Bani Sa'ad inilah Nabi
diasuh dan dibesarkan sampai berusia 5 tahun.
Ibu dan Kakeknya Wafat
Pada waktu Nabi berusia 6 tahun, beliau diajak
oleh ibunya untuk berziarah ke kuburan ayahnya di kota Yatsrib bersama Ummu
Aiman. Di situlah ibunya bercerita banyak tentang keadaan ayahnya semasa
hayatnya, sehingga meninggalkan kesan yang sangat mendalam di hati Nabi.
Sebelum lamanya mereka tinggal di kota Yatsrib
kemudian kembali ke Makkah. Tetapi sesampainya di suatu tempat bernama Abwa'
tiba-tiba ibunya Aminah jatuh sakit dan meninggal dunia, sehingga langsung
dikuburkan di tempat itu. Dan jadilah Nabi seorang anak yatim piatu tidak
ber-ayah dan tidak ber-ibu.
Kemudian beliau dibawa oleh Ummu Aiman dan diserahkan
kepada kakeknya Abdul Muthalib, seorang pemuka Quraisy yang sangat besar
pengaruhnya di kota Makkah untuk dirawat dan dibesarkan. Tetapi dua tahun
kemudian, ketika Nabi berusia 8 tahun, kakeknya pun wafat dalam usia yang cukup
lanjut, yaitu 80 tahun.
Dan berdasarkan wasiat dari Abdul Muthalib,
kemudian Nabi diasuh oleh salah seorang pamannya yang bernama Abu Thalib bin
Abdul Muthallib. Dia mengasuh dan merawat Nabi dengan penuh kasih sayang,
sehingga sedikit demi sedikit Nabi dapat melupakan berbagai ke- sedihan dan
musibah yang menimpanya secara beruntun.
Baca juga : Bentuk Khatamun Nubuwwah (Tanda Kenabian) Rasulullah
Wafatnya Sang Paman
Sayangnya, dengan kedekatan
yang sekian lama terbangun, kalimat-kalimat tulus Rasulullah tak mampu
menjangkau dalamnya lubuk hati Abu Thalib. Ia tetap ragu dan menolak.
Demikianlah hidayah. Walaupun seseorang akrab dengan seruan penuh hikmah.
Bahkan seruan itu disampaikan berulang-ulang. Dan datang dari lisan yang tak
pernah berdusta. Jika Allah Ta’ala tak berkehendak, tak ada seorang pun yang
mampu memberi petunjuk. Abu Thalib lebih memilih ajakan taklid yang diserukan
setan. Sehingga menyumbat pandangannya dari kebenaran hakiki.
Kemudian kematian pun datang.
Rasulullah bersegera menuju rumah sang paman tercinta. Ia bawa serta semua
harapan. Agar sang paman menerima dakwahnya di akhir usianya. Sehingga ia pun
selamat dari neraka.
Namun, Rasulullah shallallahu bukanlah
satu-satunya orang yang hadir. Setan Mekah, Abu Jahal pun turut mendengar
berita sekaratnya Abu Thalib. Bertemulah tokoh kebenaran dengan gembong
kesesatan dalam satu pertemuan.
Dari Said bin al-Musayyib dari ayahnya, ia
berkata, “Menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang menemuinya. Saat itu beliau melihat telah hadir Abu Jahal dan
Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Beliau bersabda,
أَيْ عَمِّ، قُلْ:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ
‘Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah.
Dengan kalimat ini, akan aku bela engkau nanti di sisi Allah.’
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah
menanggapi,
أَتَرْغَبُ عَنْ
مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟
‘Apakah engkau membenci agamanya Abdul
Muthalib?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan
kepada pamannya. Namun kedua orang itu juga terus menimpalinya. Akhirnya Abu
Thalib mengatakan kepada mereka, ‘Di atas agamanya Abdul Muthalib’. Ia enggan mengucapkan
laa ilaha illallaah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
وَاللَّهِ
لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ
‘Demi Allah, akan kumohonkan ampun untukmu selama aku tidak
dilarang.’
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
‘Tidak patutu bagi seorang nabi dan orang-orang yang
beriman untuk memohonkan ampunan kepada orang-orang musyrik.’ (QS. At-Taubah:
113).
Allah mengisahkan ayat ini tentang Abu Thalib. Dan untuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, allah Ta’ala berfirman,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
‘Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu menunjuki orang
yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa yang Dia
kehendaki.’ (QS. Al-Qashash: 56). (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
Tafsir al-Quran, Suratu al-Qashash, 4494 dalam Fath al-Bari).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata pada pamannya:
قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ لَكَ
بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ucapkanlah laa ilaaha illallaah, nanti akan kupersaksikan
untukmu di hari kiamat.”
Abu Thalib menjawab,
لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ. يَقُولُونَ:
إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ. لأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ
“Kalau tidak khawatir dicela oleh orang-orang Quraisy.
Mereka akan berkata, ‘Abu Thalib mengucapkan itu karena ia panik (menjelang
wafat)’. Akan kuucapkan kalimat itu sehingga membuatmu senang.”
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
‘Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu menunjuki orang
yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa yang Dia
kehendaki.’ (QS. Al-Qashash: 56). (Riwayat Muslim dalam Kitab al-Iman, Bab
Awwalul Iman Qawlu: laa ilaaha illalllaah, 25).
Kesedihan Yang
Mendalam
Menurut penulis -Allah yang lebih tahu hakikatnya-
peristiwa ini adalah peristiwa paling menyedihkan yang dialami Rasulullah dalam
hidupnya. Memang benar, Rasulullah banyak mengalami musibah kehilangan
orang-orang yang beliau cintai. Beliau menyaksikan dua orang istrinya wafat
sebelum dirinya, Khadijah dan Zainab bin Khuzaimah radhiallahu ‘anhuma. Satu
per satu anak-anak beliau wafat mendahului dirinya, kecuali Fatimah. Beliau
juga kehilangan sahabat-sahabat dekat semisal Hamzah bin Abdul Muthalib, Abu
Salamah bin Abdul Asad, Utsman bin Mazh’un, Saad bin Mu’adz, Zaid bin Haritsah,
Ja’far bin Abu Thalib, dll. Radhiallahu ‘anhum. Tapi, musibah kematian Abu
Thalib berbeda. Kematian Abu Thalib ini lebih terasa berat. Mengapa? Karena
sang paman yang sangat beliau cintai wafat dalam kekufuran. Sedangkan keluarga
dan sahabat-sahabatnya tadi wafat dalam keimanan. Beliau -dengan izin Allah-
tetap akan berjumpa dengan mereka di telaganya dan di surga kelak. Adapun Abu
Thalib, perpisahan dengannya adalah perpisahan untuk selama-lamanya.
Peristiwa wafatnya Abu Thalib ini memberikan pesan yang
dalam pada kita bahwa segala perkara itu di tangan Allah. Dia mengetahui yang
tidak kita ketahui. Dia mengetahui mata-mata yang khianat dan apa yang
tersembunyi di sanubari. Dia tahu, mana orang yang layak mendapat hidayah.
Seseorang itu tak hanya dipandang zahirnya, tapi batinnya
jauh lebih penting. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى
أَجْسَادِكُمْ، وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ».
وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ إِلَى صَدْرِهِ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada fisik kalian,
tidak juga pada tampilan kalian. Akan tetapi ia melihat kepada hati kalian.”
Nabi menunjukkan tangannya ke dada.
Orang-orang kafir Quraisy tidak menaruh iba untuk
menghormati wafatnya pembesar bani Hasyim ini. Bahkan mereka bergembira dan
menampakkan suka cita. Mereka berkumpul mengunakan kesempatan untuk semakin
menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam benak mereka, sekarang
Muhammad tanpa perlindungan.
Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan,
مَا زَالَتْ قُرَيْشٌ كَاعَّةً
حَتَّى تُوُفِّيَ أَبُو طَالِبٍ
“Orang-orang Quraisy senantiasa takut dan lemah hingga
wafatnya Abu Thalib.” (HR. Hakim dalam Mustadrak 4243).
Mereka berusaha menumpuk-numpuk derita Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wafatnya Abu Thalib adalah ujian berat yang dihadapi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tahun ke-10 kenabian beliau. Di
tahun ini, Nabi mengalami banyak musibah berat. Di awal tahun, orang-orang
Quraisy memboikot bani Hasyim. Pemboikotan dimulai dari tahun ke-7 kenabian
hingga ke-10. Hingga bani Hasyim tidak memiliki sesuatu untuk dimakan. Baru
saja bebas dari pemboikotan, paman beliau wafat. Yang berat adalah, sang paman
wafat dalam kekufuran. Tiga hari kemudian, istri beliau, Khadijah, wafat. Ujian
terus berdatangan. Beliau semakin ditekan. Dan berturut-turut ujian lainnya.
Termasuk ditolak berdakwah di Thaif. Karena itu, wajar tahun ini disebut tahun
kesedihan.