Bagaimana Hukum Jual Beli Bitcoin Menurut Pandangan Islam?
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelum membahas mengenai hukum
bitcoin, kita akan memahami hakekat dari bitcoin.
Karena dengan memahami hakekat kasus yang menjadi objek kajian, kita bisa
melakukan takyif fiqh (pendakatan fiqh) dalam memahami kasus
tersebut.
Ada kaidah fiqh yang menyatakan,
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
Hukum terhadap suatu kasus, adalah turunan
dari bagaimana seseorang melihatnya. (Majmu’ Fatawa, 6/295)
Dari sekian situs yang menjelaskan bitcoin,
ada satu situs yang memberi penjelasan paling mudah dipahami sebagai berikut,
Bitcoin adalah sebuah mata uang digital yang
tersebar dalam jaringan peer-to-peer yang tersebar di
seluruh dunia. Jaringan ini memiliki sebuah buku akuntansi besar bernama Blockchain yang
dapat diakses oleh publik, dimana didalamnya tercatat semua transaksi yang
pernah dilakukan oleh seluruh pengguna Bitcoin, termasuk saldo yang dimiliki
oleh tiap pengguna. (forumbitcoin.co.id)
* Peer to Peer adalah
adalah suatu teknologi sharing resource dan service antara
satu komputer dan komputer yang lain.
Baca Juga : Bagaimana Hukum Jual Beli Dengan System DP?
Sejauh mana jangkauan bitcoin?
Ada banyak bisnis dan individu yang
menggunakan Bitcoin. Termasuk bisnis fisik di dunia nyata seperti restoran,
apartemen, firma hukum, dan juga layanan online terkenal seperti Namecheap,
WordPress, Reddit, dan Flattr. Meskipun Bitcoin termasuk fenomena baru, namun
berkembang sangat pesat. Pada akhir Agustus 2013, nilai total semua bitcoin
yang beredar melebihi 1,5 milyar dolar AS, dengan transaksi pertukaran bitcoin
senilai jutaan dolar dilakukan setiap harinya. (bitcoin.org)
Dengan memperhatikan jangkauannya, bitcoin
telah disepakati para pebisnis di dunia maya sebagai alat tukar. Dengan kata
lain, bitcoin telah menjadi mata uang di dunia maya.
Batasan Mata Uang dalam Fiqh
Selanjutnya kita akan melihat, apakah bitcoin
bisa disebut mata uang secara fiqh ataukah tidak?
Dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ
وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ
“Jika emas dibarter dengan emas, perak
ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur,
gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma,
garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda
yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan
tunai” (HR. Muslim 4147).
Dari keenam benda ribawi di atas, ulama
sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:
[1] Kelompok 1: Emas dan Perak
[2] Kelompok 2: al-qut al-muddakhar
(bahan makanan yang bisa disimpan), Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam.
Kita lebih fokuskan melihat emas dan perak,
karena ini yang ada kaitannya dengan mata uang.
Menurut mayoritas ulama, Maliki, Syafi’i dan
Hambali, menegaskan bahwa alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena
keduanya berstatus sebagai alat tukar (tsamaniyah), dan sebagai alat
ukur nilai harta benda lainnya (qawam al-Amwal). Dengan demikian, kegunaan
emas dan perak (dinar dan dirham) terletak pada fungsi ini, tidak hanya pada
nilai intrinsik bendanya. (al-Mughi, Ibnu Qudamah, 4/135; as-Syarhul Kabir,
Ibnu Qudamah, 4/126).
Karena itu, diqiyaskan dengan emas dan perak,
semua benda yang disepakati berlaku sebagai mata uang dan alat tukar. Meskipun
bahannya bukan emas dan perak. Dalam Tarikh al-Baladziri disebutkan,
وقد همَ عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- باتخاذ النقود
من جلد البعير. وما منعه من ذلك إلا خشية على البعير من الانقراض
Bahwa Umar bin Khattab berkeinginan membuat
uang dari kulit unta. Namun rencana ini diurungkan karena khawatir, onta akan
punah. (Futuh al-Buldan, al-Baladziri)
Sekalipun keputusan ini tidak dilaksanakan,
tapi kita bisa melihat bahwa para sahabat mengakui bolehnya memproduksi mata
uang dengan bahan dari selain emas dan perak. Rencana ini dibatalkan, karena
mengancam poopulasi onta. Bisa saja, ada orang yang menyembelih onta, hanya
untk diambil kulitnya. Sementara dagingnya bisa jadi tidak dimanfaatkan. Andai
bukan kebijakan masalah kelestarian onta, akan diterbitkan mata uang berbahan
kulit onta.
Inilah yang menjadi dasar para ulama, bahwa
mata uang tidak harus berbahan emas dan perak. Imam Malik pernah mengatakan,
لو أن الناس أجازوا بينهم الجلود حتى تكون لهم سكة
وعين لكرهتها أن تباع بالذهب والورق نظرة
“Andaikan orang-orang membuat uang dari kulit
dan dijadikan alat tukar oleh mereka, maka saya melarang uang kulit itu ditukar
dengan emas dan perak dengan cara tidak tunai”. (Al-Mudawwanah Al-Kubra, 3/90).
Karena itu, Syaikhul Islam mengatakan,
Sebagian ulama berkata, “Uang adalah suatu
benda yang disepakati oleh para penggunanya sebagai (alat tukar), sekalipun
terbuat dari sepotong batu atau kayu”. (Majmu’ Fatawa, 19/251).
Kesimpulannya, hingga titik ini, penggunaan
bitcoin secara hukum syariah dibolehkan, tidak ada sisi pelanggarannya, selama
itu dimiliki secara legal dan bukan melalui pembajakan atau penipuan.
Dalam Fatawa Islam dinyatakan,
النقود
الإلكترونية هي نقود عادية متطورة ، وهي وإن كانت لا تتشابه معها في الشكل ، فإنها
تتفق معها في المضمون. وهذه النقود الإلكترونية تأخذ حكم العملة التي تم
تخزينها بها
Mata uang elektronik adalah mata uang di dunia
digital. Mata uang ini meskipun bentuknya tidak sama dengan mata uang lainnya,
namun dilihat dari sisi nilai yang dipertanggungkan statusnya sama. Sehingga
uang elektronik ini dihukumi sebagai ‘umlah (mata uang)
yang bisa disimpan. (Fatawa Islam, no. 219328)
Fatwa bolehnya menggunakan bitcoin juga
disampaikan lembaga Fatwa Syabakah Islamiyah – Qatar,
فالعملة الرقمية، أو النقود الإكترونية عملات في شكل
إلكتروني غير الشكل الورقي، أو المعدني المعتاد. وعلى ذلك فشراؤها بعملة مختلفة
معها في الجنس أو متفقة يعد صرفًا
Mata uang elektronik adalah mata uang dalam
bentuk digital, tidak seperti mata uang kertas atau mata uang berbahan logam
tambang, seperti yang umumnya beredar. Karena itu, membeli mata uang digital
dengan mata uang lain yang berbeda, termasuk transaksi sharf (transaksi mata
uang). (Fatawa Syabakah Islamiyah no. 191641)
Di fatwa yang lain ditegaskan,
فمن ملك شيئًا من تلك النقود الإلكترونية بوسيلة
مشروعة، فلا حرج عليه في الانتفاع بها فيما هو مباح
Siapa yang memiliki mata uang digital itu
dengan cara yang disyariatkan (mubah), maka tidak masalah untuk dimanfaatkan,
untuk keperluan yang mubah. (Fatawa Syabakah Islamiyah no. 251170)
Aturan Pembelian Bitcoin
Bitcoin statusnya mata uang. Karena itu,
membeli bitcoin, hakekatnya menukar uang dengan uang. Orang yang membeli
bitcoin dengan rupiah, hakekatnya dia menukar rupiah dengan bitcoin. Menurut
informasi, saat ini, harga 1 bitcoin (BTC) = Rp 135.000.000,00; (seratus tiga puluh lima juta rupiah) atau 1 BTC = $ 9400; (sembilan ribu empat ratus dollar)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
aturan untuk transaksi uang dengan uang,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ …
مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ…فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ
الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Jika emas dibarter dengan emas, perak
ditukar dengan perak, kuantitasnya harus sama dan tunai… Jika benda yang
dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai. (HR. Muslim 4147)
Dalam hadis ini ada 2 aturan cara penukaran
mata uang,
[1] Jika tukar menukar itu dilakukan untuk
barang yang sejenis, wajib sama kuantitas dan tunai.
Misalnya: emas dengan emas, rupiah dengan rupiah, qiyasnya BTC dengan BTC.
[2] Jika barter dilakukan antar barang yang
berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya wajib tunai. Misal: Emas dengan
perak, rupiah dengan dolar. Termasuk rupiah dengan BTC.
Karena itu, ketika ada orang yang beli
bitcoin, atau jual bitcoin, di tempat transaksi keduanya harus ada. Uang ada,
bitcoin ada. Tidak boleh ada yang tertunda. Jika tertunda, melanggar larangan
riba nasiah. Begitu konsumen transfer rupiah, di saat yang sama penyedia
bitcoin harus mengirim BTC untuknya.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah, aturan ini
disebutkan,
ولا بد في الصرف من
التقابض، والتماثل عند اتحاد الجنس، والتقابض دون التماثل عند اختلاف الجنس،
والقبض قد يكون حقيقيًا، وقد يكون حكميًا
Dalam transaksi mata uang, harus ada serah
terima (taqabudh) dan sama kuantitas jika jenisnya sama. Dan
disyaratkan harus taqabudh, meskipun boleh tidak sama kuantitas,
jika beda jenis. Dan taqabudh bisa dilakukan secara haqiqi (ada
uang, ada bitcoin yang bisa dipegang), bisa juga secara status (hukmi).
(Fatawa Syabakah Islamiyah no. 251170)
Transaksi bitcoin, jika dilakukan sekali waktu
ditempat, termasuk taqabudh secara hukmi.
Allahu a’lam.