SYARAH SHALAWAT NARIYAH BERDASARKAN HADITS-HADITS NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bagian 3
Dalam redaksi shalawat Nariyah di atas disebutkan:
وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan sebab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam."
Maksud redaksi tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi sebab terkabulnya hajat dan keperluan apa saja. Hal ini bisa dilihat dari keterangan dalil-dalil dua bagian sebelumnya. Bisa juga dengan didasarkan pada beberapa dalil berikut ini:
Dalil Pertama :
Hadits tentang mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyembuhkan penyakit biduran yang
menimpa sebagian sahabat.
عَن أم عَاصِم امْرَأَة عتبَة بن فرقد قَالَت كُنَّا عِنْد عتبَة أَربع نسْوَة مَا منا امْرَأَة إِلا وَهِي تجتهد فِي الطّيب لتَكون أطيب من صاحبتها وَمَا يمس عتبَة الطّيب وَهُوَ أطيب ريحًا منا وَكَانَ إِذا خرج إِلَى النَّاس قَالُوا مَا شممنا ريحًا أطيب من ريح عتبَة فَقُلْنَا لَهُ فِي ذَلِك قَالَ أَخَذَنِي الشرى على عهد رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فشكوت ذَلِك إِلَيْهِ فَأمرنِي أَن أتجرد فتجردت وَقَعَدت بَين يَدَيْهِ وألقيت ثوبي على فَرجي فنفث فِي يَده ثمَّ وضع يَده على ظَهْري وبطني فعبق بِي هَذَا الطّيب من يَوْمئِذٍ
“Ummu Ashim, istri sahabat Utbah bin Farqad berkata: “Kami bersama Utbah ada empat orang istri. Masing-masing kami berusaha menggunakan parfum agar lebih harum dari yang lainnya. Utbah tidak pernah memakai parfum, tetapi aromanya lebih harum daripada kami. Apabila Utbah pergi kepada orang-orang, mereka akan berkata, kami tidak mencium aroma yang lebih harum daripada Utbah. Kami bertanya latar belakang keharumannya. Utbah berkata: “Dulu saya terkena penyakit biduran pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku mengeluhkan penyakit itu kepada beliau. Beliau menyuruh saya melepas pakaian. Aku melepaskan pakaian, duduk di depan beliau dan bajuku aku tutupkan pada kemaluanku. Lalu beliau meludahi tangannya, kemudian meletakkan tangan itu ke bagian punggung dan perutku, sehingga sejak saat itu aroma harum ini melekat pada tubuhku.”
Hadits shahih riwayat al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [329, 330, 331] dan al-Mu’jam al-Shaghir [98], Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani [1387], Abu Nu’aim dalam al-Thibb al-Nabawi [480], dan Ma’rifah al-Shahabah juz 4 hlm 2136, dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz 6 hlm 216. Al-Hafizh al-Suyuthi berkata dalam al-Khashaish al-Kubra juz 2 hlm 141, sanad hadits ini jayyid (bagus).
Dalam hadits shahih di atas diterangkan, bahwa sahabat Utbah yang terkena penyakit biduran di kulitnya, setelah kulitnya diusap dengan tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya sembuh dari sakitnya, bahkan kulitnya menjadi harum, dan lebih harum daripada orang yang memakai parfum apapun.
Dalil Kedua :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembuhkan dan mengembalikan mata sebagian sahabat yang keluar dan menggantung di pipinya dalam suatu peperangan. Syaikh Ibnu Utsaimin, ulama Wahabi terkemuka berkata:
أَنَّ قَتَادَةَ بْنَ النُّعْمَانِ لَمَا جُرِحَ فِيْ أُحُدٍ نَدَرَتْ عَيْنُهُ حَتَّى صَارَتْ عَلَى خَدِّهِ، فَجَاءَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَأَخَذَهَا بِيَدِهِ، وَوَضَعَهَا فِيْ مَكَانِهَا، فَصَارَتْ أَحْسَنَ عَيْنَيْهِ. (العثيمين، شرح العقيدة الواسطية، ص/630).
“Ketika Qatadah bin al-Nu’man terluka dalam peperangan Uhud, salah satu matanya keluar sehingga menggantung di pipinya. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil mata yang keluar itu dan meletakkannya pada tempatnya, sehingga pulih dan menjadi salah satu matanya yang terbaik selama hidupnya.” (Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 630).
Dalam hadits yang disebutkan oleh al-‘Utsaimin di atas, Sayidina Qatadah yang matanya keluar dan menggantung di pipinya, tidak langsung berdoa kepada Allah. Tetapi beliau mendatangi Rasul j, dan Rasul j pun tidak menegurnya dengan berkata: “Mengapa kamu melapor kepadaku, dan tidak langsung berdoa kepada Allah”, dan tidak pula berkata: “Kamu telah syirik, karena melaporkan penderitaanmu kepadaku, bukan kepada Allah.” Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menyembuhkan matanya dengan izin Allah.
Dalil Ketiga :
Hadits seorang sahabat yang selamat dari terkaman singa, setelah menjelaskan bahwa beliau adalah maula, budak atau pembantu yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَفِينَةَ، مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رَكِبْتُ سَفِينَةً فِي الْبَحْرِ فَانْكَسَرَتْ بِي , فَرَكِبْتُ لَوْحًا مِنْهَا فَأَخْرَجَنِي إِلَى أَجَمَةٍ فِيهَا أَسَدٌ إِذْ أَقْبَلَ الْأَسَدُ , فَلَمَّا رَأَيْتُهُ قُلْتُ: يَا أَبَا الْحَارِثِ، أَنَا سَفِينَةُ مَوْلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقْبَلَ نَحْوِي حَتَّى ضَرَبَنِي بِمَنْكِبِهِ , ثُمَّ مَشَى مَعِي حَتَّى أَقَامَنِي عَلَى الطَّرِيقِ , قَالَ: ثُمَّ هَمْهَمَ وَضَرَبَنِي بِذَنَبِهِ , فَرَأَيْتُ أَنَّهُ يُوَدِّعُنِي
“Safinah, maula (budak yang dimerdekakan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku menaiki perahu di lautan. Lalu perahu itu pecah. Maka aku menaiki satu papan dari perahu itu. Akhirnya mengantarkan aku sampai ke hutan yang ada singanya. Tiba-tiba seekor singa mengadapku. Begitu aku melihatnya, aku berkata: “Hai singa, aku Safinah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu ia menghampiriku hingga menggiringku dengan pundaknya. Kemudian ia berjalan bersamaku hingga mengantarkan aku ke jalan yang benar. Kemudian ia bersuara sebentar dan memukulkan ekornya kepadaku. Aku mengira bahwa ia mengucapkan selamat tinggal kepadaku.”
Hadits shahih riwayat al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [6432], al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 3 hlm 606, Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ juz 1 hlm 369 dan Dalail al-Nubuwwah [511], al-Bazzar (Kasyf al-Astar [2733]), dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz 6 hlm 45 dan al-I’tiqad hlm 368. Al-Hakim berkata, hadits ini sesuai persyaratan Muslim dan al-Dzahabi menyetujuinya.
Hadits shahih di atas memberikan penjelasan bahwa Safinah radhiyallaahu ‘anhu yang tersesat di hutan tempat singa, selamat dari terkaman singa, setelah memberitahu bahwa beliau adalah maula yaitu budak atau pembantu yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian setelah itu beliau diantarkan ke jalan yang benar.
Dalil Keempat :
Hadits seorang laki-laki tuna netra yang memohon kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mendoakannya agar sembuh dari kebutaan. Hadits tersebut dikenal dengan hadits dharir, maksudnya hadits seorang tuna netra yang menginginkan kesembuhan.
Sahabat Utsman bin Hunaif radhiyallaahu ‘anhu berkata, bahwa seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Doakan kepada Allah agar menyembuhkan aku dari kebutaan.” Beliau bersabda: “Kalau kamu mau, kamu aku doakan. Tetapi kalau kamu mau, kamu sabar saja dengan kebutaan ini, dan ini yang lebih baik baik bagimu.” Laki-laki itu berkata: “Doakan saja agar sembuh.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh laki-laki itu melakukan wudhu dengan baik, lalu menunaikan shalat dua rakaat, kemudian membaca doa ini:
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ، وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ، فَتَقْضِي لِي، اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku bertawasul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku bertawasul denganmu kepada Tuhanku mengenai hajatku ini, agar engkau mengabulkan untukku. Ya Allah terimalah pertolongan Nabi untukku.”
Lalu laki-laki buta itu melaksanakan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,dan demi Allah kita belum berpisah dan belum lama dalam majlis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba laki-laki itu kembali datang ke majlis dan telah bisa melihat, seakan-akan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali.”
Hadits shahih riwayat Ahmad [17240], Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab [379], al-Tirmidzi [3578], al-Nasai dalam al-Kubra [10495] dan ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah [659], Ibnu Majah [1385], Ibnu Khuzaimah [1219], al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 1 hlm 313 dan 519, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [8311] dan al-Mu’jam al-Shaghir [508], Ibnu al-Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah [633] dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz 6 hlm 166. Hadits tersebut dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Tirmidzi, al-Thabarani, al-Hakim, al-Baihaqi dan lain-lain.
Hadits shahih di atas menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebab terkabulnya doa seorang tuna netra tersebut yang menginginkan kesembuhan dari kebutaannya. Doa tersebut dianjurkan oleh para ulama untuk dibaca dalam hajat-hajat yang lain.
Sebagian kaum Wahabi yang alergi dengan kesunnahan tawasul dan istighatsah, mengatakan bahwa doa di atas boleh dilakukan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Sedangkan setelah beliau wafat, membaca doa tersebut tidak boleh karena termasuk perbuatan syirik. Tentu saja pernyataan kaum Wahabi tersebut salah fatal dan tidak benar. Karena setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, doa tersebut masih diajarkan oleh sahabat kepada muridnya.
Al-Thabarani meriwayatkan, bahwa sahabat Utsman bin Hunaif, perawi hadits dharir di atas, melihat seorang laki-laki yang mondar mandir ke pintu rumah Khalifah Utsman bin Affan, radhiyallaahu ‘anhu. Lalu laki-laki itu ditanya oleh Utsman bin Hunaif, mengapa mondar mandir ke pintu rumah Khalifah Utsman. Laki-laki itu menjawab, bahwa ia mengajukan permohonan kepada Khalifah, tetapi sampai saat ini belum dipanggil dan permohonan belum dikabulkan. Lalu Utsman bin Hunaif menyarankan laki-laki tersebut untuk mengamalkan doa hadits dharir di atas. Begitu ia melakukan, dan mendatangi pintu Khalifah Utsman, pintu langsung dibukakan, lalu dipanggil dan permohonannya dikabulkan oleh Khalifah Utsman.
Setelah para sahabat tiada, doa hadits dharir tersebut masih diamalkan oleh generasi salaf yang shaleh. Al-Imam Ibnu Abi al-Dunya meriwayatkan dari Katsir bin Muhammad, bahwa seorang laki-laki datang kepada Imam Abdul Malik bin Hayyan bin Said bin al-Hasan bin Abjar untuk mengobati sakit perutnya yang membengkak. Lalu Ibnu Abjar meraba perut laki-laki tersebut. Lalu ia berkata: “Di perutmu ada penyakit yang tidak akan sembuh.” Laki-laki itu bertanya: “Penyakit apa?” Ibnu Abjar menjawab: “Pembengkakan kecil (semacam kangker)”. Lalu laki-laki itu berpaling dan membaca doa berikut ini:
اللهُ، اللهُ، رَبِّي لا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ وَرَبِّي أَنْ يَرْحَمَنِي مِمَّا بِي رَحْمَةً يُغْنِينِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاهُ
Ia membaca doa tersebut sebanyak tiga kali. Kemudian ia menghampiri Ibnu Abjar lagi untuk memeriksa perutnya. Setelah memeriksa, Ibnu Abjar berkata: “Kamu telah sembuh, penyakitnya sudah tidak ada.” (Ibnu Abi al-Dunya, Mujabu al-Da’wah [127]).
Ibnu Abjar di atas adalah seorang hafizh (penghapal hadits), termasuk perawi yang diterima dalam kitab Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan al-Nasai. Ia juga ahli pengobatan yang tidak mengambil upah dalam mengobati seseorang. Ia dinilai tsiqah (dipercaya) oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in dan lain-lain. Mereka juga memujinya sebagai orang yang baik. Wallahu a’lam. (Al-Ghumari, Mausu’ah Sayyidi al-Ghumari al-Hasani, juz 14 hlm 527).
Doa dalam hadits dharir di atas memang ampuh dan luar biasa. Ada beberapa pengalaman beberapa orang yang ingin saya ceritakan di sini seputar keampuhan doa di atas.
Sekitar akhir tahun 2005, seorang sahabat saya, pagi-pagi menghubungi saya via telepon seluler. Ternyata dalam pembicaraan itu, ia meminta maaf kepada saya, karena khawatir segera meninggal dunia. Karena selama beberapa hari telah berbaring di rumah sakit, karena menderita penyakit komplikasi. Akhirnya setiap pagi, saya sempatkan menelepon teman ini, memberinya motivasi untuk sembuh dari sakitnya. Kira-kira dapat dua minggu, teman ini kemudian tidak bisa dihubungi, selulernya tidak aktif. Saya berpikir mungkin orang ini sudah meninggal dunia.
Kira-kira sekitar tujuh bulan kemudian, teman ini menghubungi saya dengan nomor baru. Saya bertanya, bagaimana keadaan Anda sekarang? Ia menjawab, ada dua kabar gembira tentang saya. Pertama, saya alhamdulillah sudah sehat wal afiyat. Kedua, saya sudah menambah istri lagi. Begitu kata teman saya itu. Saya bertanya, apa yang Anda baca, sehingga mudah sekali berpoligami. Ia jawab, mengamalkan doa dalam hadits dharir di atas. Kata teman tadi, setelah mengamalkan doa tersebut, justru istrinya yang memotivasi untuk berpoligami. Teman tadi bilang, bahwa ia mendapatkan ijazah doa hadits dharir tersebut dari saya ketika sama-sama di pesantren dulu. Saya sendiri tidak ingat kalau pernah memberikan ijazah doa tersebut kepada teman tadi. Pada tahun 2011, ketika saya mengisi acara di rumah beliau, istrinya sudah tiga orang.
Sekitar awal tahun 2014, saya mengisi acara pelatihan selama tiga hari, yang diikuti oleh lima puluh orang para ulama dan ustadz yang diadakan oleh Mufti Kerajaan Johor Malaysia. Dalam acara pelatihan tersebut, saya berbicara tentang Ahlussunnah Wal-Jamaah, Syiah dan Wahabi. Dalam kesempatan tersebut saya sempat berbicara tentang hadits dharir dan pengalaman teman saya yang mudah berpoligami dengan mengamalkannya.
Kemudian kira-kira awal tahun 2016, ketika saya akan pulang dari Johor, dalam suatu acara penting, sesampainya di Bandara Senai, ada seorang ustadz yang pernah mengikuti pelatihan tersebut menyalami saya dengan penuh hormat. Ia membawa istri dan anaknya yang masih balita. Saya bertanya, itu keluargamu? Ia menjawab, “Ini barokah mengikuti pelatihan Anda awal 2014.” Saya tidak mengerti dengan maksud jawaban ustadz tersebut. Saya bertanya lagi, maksudnya bagaimana? Kemudian seorang pejabat dari Jabatan Agama Johor yang mengantarkan saya ke Bandara, membisiki saya, bahwa wanita ini adalah istri mudanya dan baru melahirkan anaknya. Saya bertanya lagi, jadi Anda berpoligami? Ia menjawab, ia dan alhamdulillah dimudahkan setelah mengamalkan doa hadits dharir di atas.
Pada akhir tahun yang lalu, ada seorang teman mengabarkan kepada saya, bahwa seorang ustadz terkenal dan alumni al-Azhar yang sering mengikuti acara saya di Johor Malaysia, telah melakukan poligami secara diam-diam, tetapi dengan persetujuan istri pertama dan keluarganya. Ketika ustadz ini menjumpai saya, saya bertanya tentang proses poligaminya? Ia menjawab, prosesnya mudah dan lancar setelah mengamalkan doa hadits dharir di atas di Multazam, di depan Ka’bah ketika menunaikan ibadah umrah.
Itulah sebagian kisah beberapa orang yang dimudahkan berpoligami dengan mengamalkan hadits dharir di atas. Karena itu para ulama menganjurkan mengamalkan hadits dharir tersebut apabila ada keperluan dan hajat yang ingin dimudahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
Berdasarkan paparan di atas jelas sekali bahwa baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebab terkabulnya banyak hajat dan keperluan, sehingga masuk dalam redaksi shalawat Nariyah dengan kalimat, wa tuqdha bihi al-hawaij. Hadits-hadits seperti di atas sebenarnya banyak sekali didapati dalam kitab-kitab hadits. Tulisan ini hanya mengutip sebagian kecil saja. Wallahu a’lam.
Bersambung – insya Allah.